Sabtu, 07 Februari 2015

CERITA DARI KELAS VIII G


Kelas 8G:
1. Meylika Rolida A (16)
2. Oki Luthfi R (22)
3. Rismalia N (26)
4. Shelly Octavia (33)

ASAL MULA DESA KEJOBONG
Kira-kira pada pertengahan abad ke-19 berdiri sebuah perguruan/ padepokan “Kalimeong” yang sangat terkenal. Padepokan ini dipimpin oleh mahaguru yang bernama Bangsa Tirta. Dia terkenal seorang yang sangat sakti dan mempunyai keahlian lain dalam bidang pengobatan. Karena kehebatannya, maka banyak orang yang datang berguru kepadanya.
Pada suatu hari ada yang datang dari Jawa Barat untuk minta obat sebab tetangganya sakit parah. Setelah menyampaikan maksudnya, dia diberi obat berupa air yang sudah diberi mantra-mantra dan dimasukan ke dalam bumbung (tabung dari bambu).
Bangsa Tirta berkata, “Kamu harus cepat-cepat pulang dan tidak boleh beristirahat di perjalanan. Kalau nanti kamu melanggar perintahku ini, saya tidak bertanggung jawab”
Hal ini sudah biasa dilakukan kepada orang-orang yang minta obat.
Dengan langkah ragu utusan dari Jawa Barat itu pergi meninggalkan Kalimeong. Dalam perjalanannya yang cukup jauh dia merasa lelah, haus dan dahaga. Terpaksa dia beristirahat untuk melepas lelah. Dia duduk di bawah Pohon Pulai. Lama kelamaan dia tertidur pulas tanpa alas tidur. Betapa terkejutnya ketika ia bangun. Bambu yang berisi air tidak ada dan yang ada sekarang serumpun bambu yang lebat. Dia termenung dan merasa takut kalau-kalau nanti setelah sampai di Jawa Barat dimarahi. Selain itu ia menyesali perbuatannya karena bersalah telah melanggar pesan dari sang guru Bangsa Tirta.
Bangsa Tirta memiliki banyak siswa di padepokan Kalimeong, ratusan jumlahnya, namun ada empat orang siswa yang sangat menonjol. Mereka adalah Suro Gendheng, Suro Begong, Suro Merta, dan Suryo Lelono.
Suro Gendheng merupakan siswa yang tertua. Dia berbadan tinggi besar, berwajah seram/angker, wataknya keras dan kejam. Dia telah mempunyai aji Jebug Keli artinya dia tidak bisa tenggelam walaupun dimasukkan ke dalam sungai yang dalam sekalipun. Dia tahan/kebal terhadap tusukan benda tajam.
Suro Begog mempunyai aji Gajah Wulung artinya dia bertenaga kuat sekali (seperti gajah). Selain itu dia kebal terhadap tusukan benda tajam.
Suro Merto mempunyai aji Kenteng Waja artinya dia kebal terhadap tusukan benda tajam, karena badannya yang keras sekali seperti baja.
Ketiga siswa ini memang pandai sekali merayu sang Guru agar memberikan ilmu-ilmu kekebalan tubuh. Tetapi ilmu-ilmu itu disalah gunakan.
Siswa yang keempat adalah Suryo Lelono, dia berasal dari Surakarta. Orangnya tinggi besar berwatak sabar dan suka mengalah. Tetapi dia sangat cakap dalam menerima ilmu-ilmu yang diberikan Guru. Selain itu dia cerdas dan sopan, sifatnya lemah lembut dan periang. Berbagai ilmu telah dikuasainya. Apa yang diajarkan guru cepat dikuasai. Maka dari itu guru memberi hadiah sebuah cincin (batu akik) yang berguna untuk memikat wanita. Namun ia tak ingin menggunakannya.
Pada suatu hari diadakan pertemuan untuk membahas kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Maka keempat siswa itu supaya berkumpul dan akan diberi pengarahan oleh guru.
“Mengingat guru sudah tua maka kalian saya harap bisa meneruskan padepokan ini. Karena Suryo Lelono merupakan siswa yang paling cakap, maka saya beri tugas untuk mengambil Guci Emas di bukit Lemah Bentar. Guci tersebut saya simpan di bawah pohon Kemuning. Mengingat bukit tersebut sangat angker, maka kalian bertiga mendampingi Suryo Lelono. Kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.” Wejangan Bangsa Tirta.
Sesampai di Lemah Bentar tidak mendapat kesulitan, karena Suryo Lelono dapat mengatasinya. Akhirnya guci itu bisa dibawa pulang.
Di tengah perjalanan, ketiga bersaudara itu iri melihat keberhasilan Suryo Lelono. Ketiga orang itu mempunyai niat jahat, kemudian meminta dengan paksa guci yang sedang dibawa Suryo Lelono. Suryo Lelono bersikeras mempertahankan guci tersebut. Maka terjadilah perkelaian antara Suryo Lelono dengan ketiga bersaudara. Namun mengingat perkelaian yang tidak seimbang, maka betapa pun Suryo Lelono banyak menguasai ilmu bela diri untuk melawan tiga orang dia kewalahan. Akhirnya Suryo Lelono kalah di keroyok tiga bersaudara. Setelah ketiga orang itu melihat Suryo Lelono tak sadarkan diri/pingsan, guci tersebut diambilnya dan mereka terus kabur meninggalkan padepokan.
Ketika Suryo Lelono siuman, datanglah Nyi Sendekala (kakak seperguruan Bangsa Tirta) untuk menolongnya. Suryo Lelono menceritakan dari awal hingga akhir kejadian yang baru dialami. Kemudian Nyi Sendekala merasa kasihan melihat Suryo Lelono lemah lunglai. Setelah tenaganya agak pulih, Suryo Lelono diantar pulang ke padepokan Kalimeong.
Bangsa Tirta merasa terkejut melihat Suryo Lelono berjalan dengan lemah lunglai dan tidak bersama ketiga saudara seperguruan. Tetapi dia diantar oleh Nyi Sendekala. Setelah istirahat, dia menceritakan kejadian yang baru dialami dari awal sampai pulang ke padepokan ini. Bangsa Tirta setelah tahu kejadian yang menimpa Suryo Lelono hatinya marah dan mengumpat perbuatan Suro Begog dan kawan-kawan.
Tidak lama kemudian terdengar berita bahwa Suro Gendeng dikeroyok orang di Banjarnegara, karena mencuri sapi. Kakinya diikat dan dibebani batu kemudian diceburkan ke sungai Brangsong. Tetapi berkat ilmu Jebug Keli dia bisa lolos dari maut dan dia bisa mendarat lagi langsung mencari tempat yang aman. Suro Begog juga di keroyok oleh masyarakat karena tertangkap basah sedang mencuri kerbau. Dia babak belur dan dimasukan ke kamar tertutup di rumah Demang di Rembang. Tetapi malamnya bisa keluar sebab mempunyai aji Gajah Wulung, kemudian melarikan diri. Suro Merto tertangkap di pesisir laut selatan. Dia dihajar penduduk karena mencuri ikan dan udang di tambak, kemudian tambaknya pun dirusak. Dia di hukum dan dimasukan kedalam penjara, namun di penjara dapat menjebol tembok dan akhirnya dia melarikan diri.
Mendengar berita-berita itu, Bangsa Tirta merasa sedih dan prihatin atas kelakuan para siswanya yang mementingkan diri sendiri. Ilmu-ilmu yang seharusnya untuk kekebalan dan menjaga diri dari bahaya ternyata disalah gunakan. Kemudian Bangsa Tirta bersemedi dengan menggunakan aji Kalamudeng. Dengan tujuan para siswanya yang telah tersesat dan melanggar ilmu-ilmu untuk kepentingan pribadi agar bisa pulang ke padepokan kembali.
Ajian ini memang sangat ampuh terbukti satu persatu siswanya yang telah meninggalkan padepokan dapat pulang semua. Ketiga siswanya datang bersujud menghadap guru sambil menundukkan kepala. Mereka merasa malu akan perbuatan yang telah dilakukan. Bangsa Tirta dengan nada wibawa berkata, “Dengarkan baik-baik, ilmu-ilmu yang telah kuberikan kepada kalian dan aji-aji yang ada pada kalian terpaksa saya cabut kembali, karena kalian telah membuat onar dan nama perguruan ini menjadi jelek. Selain itu kalian telah mengeroyok teman seperguruan. Untuk itu kalian harus pergi dari sin! Itulah hadiah kalian.”
Ketiga orang itu tubuhnya gemetar, bagai disambar petir, tubuhnya menggigil, dan merasa malu seta menyesali akan perbuatannya itu. Mereka jatuh tak sadarkan diri, tubuhnya lemah lunglai, dan mukanya pucat sekali.
Kemudian Bangsa Tirta dengan nada keras berkata lagi, ”Kalian tidak akan memperoleh kehidupan yang layak, kecuali jadi Wong (wong artinya orang yang berkelakuan baik). Maka mulai hari ini Kalimeong saya ganti dengan nama Kejobong.
“Jadi nama Kejobong itu berasal dari kata Kejaba dan Wong. Kejaba dalam bahasa Indonesia berarti kecuali, wong artinya orang yang baik.”
===


Kelas 8G:
Alifia Nur Aini
Febiyana Dwi Artika
Firdaus Nur Azizah
Nanda Citadiyana
Salsabila Khairunnisa

ASAL USUL DESA TOYAREKA
Seperti tempat-tempat lain, dahulu kala, sebelum menjadi desa toyareka, tempat itu masih berupa hutan dan hanya sedikit penduduknya. Suatu ketika mereka di landa kekeringan yang berkepanjangan. Akhirnya penduduk yang ada memutuskan untuk membuat sumur besar.
Disebut sumur besar sebab sumur yang mereka buat berdiameter kurang lebih 3 meter dan dalamnya kurang lebih 10 meter. Walau sudah berusaha namun airnya belum muncul-muncul. Lalu mencoba digali lagi. Belum berair, digali lagi! Untuk mengundang air penduduk berinisiatip untuk mengatakan bahwa air sudah keluar.
“Banyune metu! Banyune metu!” teriak orang-orang. Berpura-pura seakan air telah keluar.
Namun tetap saja air tak juga keluar walupun sudah berpura-pura air keluar.
“Metu temanan apa?” tanya tetua di desa itu.
“Mboten Pak, namung reka-reka, supados toyane medal!”
“Oh, mung reka-reka ya!” Tetua dusun itupun kemudian memanggil penduduk yang ada.
“Wis desa kiye, siki nganti mbesuk tek jenengi desa Toyareka!”
Begitulah riwayat nama desa Toyareka. Karena sumur tetap tidak bermata air masyarakat pun pasrah, walau sudah berpura-pura ada airnya, tetap saja kering. Jadi Toyareka artinya: Toya = air; reka = berpura-pura atau direka-reka.
Namun, sekarang Desa Toyareka airnya berlimpah dan tidak pernah mengalami kekeringan.
====


SEJARAH DESA WIRASANA
Pada zaman dahulu ada seorang kyai yang menyebarkan Agama Islam di suatu daerah tepatnya di Pulau Jawa, kyai tersebut bernama Wira yang biasa d panggil Ki Wira.
Karena kebiasannya yang berdakwah kesana kemari, beliau ingin membuat rumah yang lokasinya strategis dengan desa-desa yang sering didatanginya agar tidak terlalu jauh dan bisa sampai dengan tepat waktu ke tempat ia akan berdakwah.
Pencarian tempat untuk dibangun rumah itu terhenti pada sebuah desa yang menurut Ki Wira sangat strategis. Mulailah Ki Wira dan beberapa warga desa itu membantu untuk membuat rumah yang akan di tinggali pendakwah itu. Setelah rumah itu jadi, segeralah Ki Wira menempatinya. Karena desa itu belum ada namanya, Ki Wira membuat nama untuk desa itu sesuai dengan namanya sendiri yaitu Desa Wira.
Bahwa Ki Wira menanam pohon angsana di sekitar rumahnya sebagai pohon peneduh dan juga dapat dijadikan kayu bakar. Ki Wira senang sekali menggunakan getah angsana untuk mewarnai perabot rumah sebelum orang menggunakan pelitur.
Di depan rumah ada pohon angsana yang sangat disayang oleh Ki Wira. Pohon angsana itu menjadi ciri khas rumah Ki Wira. Sehingga setiap kali ada orang bertanya dimana rumah Ki Wira maka jawabnya adalah yang ada pohon angsananya. Lama-lama Ki Wira dipanggilnya menjadi Wira-angsana.
Seiring berkembangnya zaman, dan pengertian mereka bahwa Ki Wira sering berdakwah kesana kemari, dan banyak orang bertanya-tanya letak rumahnya, maka ditambahkannya untuk nama desa itu dengan kata ‘angsana’. Kata angsana ditambahkan di belakang kata wira. Yang akhirnya desa tersebut diberi nama Wiraangsana, namun barangkali kesulitan mengucapkan kata “ang” yang berada di tengah kata maka sekarang Wiraangsana dikenal dengan nama Desa Wirasana.
Salah satu bentuk petilasan Ki Wira sebagai cikal bakal desa Wirasana, makamnya terdapat pada salah satu pemakaman umum di desa Wirasana itu.
====


DAERAH SLINGA 
Letak daerah Slinga adalah di Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. Daerah Slinga terdapat sebuah bendungan yang bernama bendungan Slinga, disana terkenal kisah tentang banyaknya orang yang mati bunuh diri di bendungan tersebut.
Setiap sorenya bendungan tersebut banyak terdapat pasangan yang berpacaran di sekitar bendungan tersebut. Dulu pada saat bulan ramadhan menjelang buka puasa banyak orang melakukan ngabuburit / menunggu saat buka puasa bersama keluarga / pasangan. Pada saat lebaran tiba setelah warga melaksanakan shalat id di lapangan yang sudah disediakan mereka berkumpul untuk saling bersilaturahmi antar warga sambil mendengarkan ceramah dari ustad daerah sana. Makanan khas di daerah Slinga adalah cimplung / singkong yang direbus, orang – orang di sana memiliki cara agar lebih lezat yaitu memasak cimplung tersebut dengan mencampurinya dengan gula aren asli daerah tersebut. Sebagian penduduk disana bekerja sebagai pembuat gula jawa yang berbahan dasar aren, dan juga tidak sedikit yang menambang batu dan pasir yang terdapat di bendungan Slinga. Sebagian daerah disana masih terdapat pepohonan rimbun dan besar – besar, dan sawah lebar pun masih banyak terdampar di kanan kiri jalan.
===

SEJARAH DESA MEWEK 

Pada zaman dahulu daerah Mewek yang masuk dalam pemerintahan Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, pernah dijajah oleh bangsa Belanda yang ingin mengambil alih jalan desa tersebut.
Di perbatasan tersebut terjadilah perang yang menjadikan terpisahnya menjadi dua wilayah. Yang satu daerah Mewek dan yang satu nya lagi daerah Penambongan.
Kenapa diberi nama mewek? Mewek adalah bahasa Banyumas. Kata mewek digunakan untuk menggambarkan seseorang yang karena sedih sehingga mengeluarkan air mata, dan umumnya dalam situasi ini bentuk mulut orang menjadi melebar kekanan dan kekiri. Situasi mulut melebar itulah yang disebut mewek atau mewek-mewek jiak kesedihannya agak lama.
Warga kampung merasa sedih karena mengalami kekalahan yang membuat daerah mereka terbagi dua, mereka sedih dan berkaca–kaca sampai mengeluarkan air mata atau mewek-mewek.
Orang-orang terutama orang Penambongan akhirnya mengatakan bahwa orang yang mewek-mewek itu dipanggilnya sebagai orang Mewek. Desanya juga disebut sebagai Desa Mewek.
=============

Nama anggota;
1. Asri Sulistiti (7)
2. Karisna M.H (12)
3. Nanda Ayu N (20)
4. Sallsabilla N.P (27)
5. Vionita Azzahra A (34)

ASAL USUL NAMA DESA KARANGMANYAR 
Dahulu kala di sebuah pekarangan milik orang terdapat pohon kelapa. Di pohon kelapa itu hinggaplah burung yang bernama Burung Manyar. Karena banyak burung manyar sehingga desa itu dinamakan Karangmanyar.
===

Nama anggota :
1. Arya Dafi O (05)
2. Sandy Indra K (30)
3. Yoski Febri A (35)

ASAL USUL DESA KEDUNGMENJANGAN 
Dahulu kala, ada pemburu yang dari pagi mencari hewan buruan tetapi sampai sore dia tak dapat buruannya. Akhirnya dia beristirahat di sebuah sungai pada bagian yang dalam atau kedhung, dan dia bermalam disitu.
Pada malam hari, ia mendengar suara seperti suara hewan, ternyata itu kijang atau menjangan ia mengejar kijang tersebut, karena ketakutan, kijang itu berlari sangat kencangnya sampai-sampai ia terjatuh ke dalam sungai.
Setelah kejadian tersebut pemburu itu menamakan tempat itu sebagai desa “Kedungmenjangan”.
===



Tidak ada komentar:

Posting Komentar